SURABAYA, (GerakNusanatar.com) - Terkait Kripto sebagai Mata Uang di Indonesia, telah jelas bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang disamping ketentuan syariat tentang komoditi (sil’ah).
Adapun pengaturan Perdagangan Cryptocurrency oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Bappeti yang tertuang dalam Peraturan Bappeti no. 5 Tahu 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (crypto asset) di Bursa Berjangka.
Menurut Bappeti ada beberapa faktor penetapan aset kripto menjadi komoditi :
1. Harga fluktuatif, harga asset kripto sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan perdaganganya sangat likuid.
2. Tidak ada intervensi pmerintah: asset kripto yang muncul dari teknologi blockchain diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi dari pemeritah dengan demikian struktur pasarnya sempurna.
3. Banyaknya permintaan dan penawaran: pasarnya sangat besar (penawaran dan permintaan) baik di tingkat nasional maupun global; tersedianya pasokan asset kripto dan telah tumbuh pusat perdagangan asset kripto di dunia.
Di Indonesia sendiri telah banyak muncul pedagang asset kipto dengan banyaknya nasabah yang bertransaksi.
Standar komoditi: sebagai komoditi digital asset kripto memiliki standart seperti komoditi lainya yang meliputi penggunaan teknologi, memiliki harga/nilai, dapat diperjualbelikan dan memiliki kegunaan sebagai sarana pertukaran yang mempunyai nilai dalam komunitas/proyek tertentu.
Empat faktor di atas memperjelas bahwa apa yang disebutnya komoditi versi Bappeti sangat tidak sejalan dengan komoditi (sil’ah) menurut pandangan syara’.
Wartawan : Dhea
Editor : Imam Mu'iz